Bacaan
Ekaristi : Yeh. 47:1-2.8-9,12; Mzm. 46:2-3,5-6,8-9; 1Kor. 3:9c-11,16-17; Luk.
19:1-10.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini kita merayakan Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, yang
berlangsung pada abad keempat oleh Paus Silvester I. Basilika ini, yang
kemudian dikenal sebagai Katedral Roma, dibangun atas perintah Kaisar
Konstantinus, setelah ia memberikan kebebasan kepada umat kristiani untuk
menganut iman dan menjalankan agama mereka pada tahun 313.
Mengapa
kita memperingati peristiwa ini hingga saat ini? Tentu saja untuk mengenang,
dengan penuh sukacita dan rasa syukur, sebuah peristiwa bersejarah yang sangat
penting bagi kehidupan Gereja, tetapi ini bukan satu-satunya alasan. Basilika
ini, sesungguhnya, "Bunda segala Gereja," lebih dari sekadar monumen
atau tugu peringatan bersejarah. Basilika ini adalah "tanda Gereja yang
hidup, yang dibangun dengan batu-batu pilihan dan berharga di dalam Kristus
Yesus, sang batu penjuru (bdk. 1 Ptr 2:4-5)" (Konferensi Wali Gereja
Italia, Ritus Pemberkatan Minyak dan Pemberkatan Gereja dan Altar,
Pendahuluan). Dengan demikian, Basilika ini mengingatkan kita bahwa kita juga
bagaikan "batu-batu yang hidup dibangun di dunia ini ... yang dibangun
menjadi" bait rohani (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium,
6). Karena alasan ini, sebagaimana dicatat Santo Paulus VI, komunitas kristen
perdana segera mulai menerapkan "nama Gereja, yang berarti perkumpulan
umat beriman, terhadap bait yang menghimpun mereka" (Doa Malaikat Tuhan, 9
November 1969). Komunitas gerejawi, "Gereja, persekutuan umat beriman,
[yang] memberi Basilika Santo Yohanes Lateran struktur eksternalnya yang paling
kokoh dan mencolok" (idem). Oleh karena itu, saat kita memandang bangunan
ini, marilah kita merenungkan apa artinya menjadi Gereja dalam terang
bacaan-bacaan hari ini.
Pertama-tama,
marilah kita membahas dasarnya. Pentingnya dasar ini jelas, bahkan agak
meresahkan. Jika para pembangun tidak menggali cukup dalam untuk menemukan
dasar yang kokoh untuk membangun sisanya, seluruh bangunan pasti sudah runtuh
sejak lama atau berisiko runtuh kapan saja, yang akan menempatkan kita dalam
bahaya besar. Untungnya, para pendahulu kita telah meletakkan dasar yang kokoh
bagi Katedral kita, menggali dalam-dalam dengan susah payah sebelum membangun
tembok-tembok yang menyambut kita, dan ini membuat kita merasa jauh lebih
tenang.
Hal
ini patut direnungkan. Sebagai pekerja di dalam Gereja yang hidup, kita juga
harus terlebih dahulu menggali dalam-dalam diri kita dan di sekitar kita
sebelum kita dapat membangun struktur yang mengesankan. Kita harus
menyingkirkan material yang tidak stabil yang akan menghalangi kita mencapai
batu karang Kristus yang kokoh (bdk. Mat. 7:24-27). Inilah tepatnya yang
dibicarakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua ketika ia berkata bahwa "tidak
seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah
diletakkan, yaitu Yesus Kristus" (1Kor. 3:11). Ini berarti senantiasa
kembali kepada Yesus dan Injil-Nya serta taat kepada karya Roh Kudus. Jika
tidak, kita berisiko membebani bangunan dengan struktur berat karena penopang
dasarnya terlalu lemah.
Saudara-saudari
terkasih, seraya kita giat melayani Kerajaan Allah, marilah kita tidak tergesa-gesa
atau dangkal. Marilah kita menggali lebih dalam, tanpa terhalang oleh kriteria
duniawi, yang terlalu sering menuntut hasil instan dan mengabaikan
kebijaksanaan menunggu. Sejarah Gereja selama seribu tahun mengajarkan kita
bahwa dengan pertolongan Allah, komunitas iman sejati hanya dapat dibangun
dengan kerendahan hati dan kesabaran. Komunitas semacam itu mampu menyebarkan
kasih, mengembangkan misi, mewartakan, merayakan, dan melayani Magisterium
Apostolik yang bait suci ini merupakan pusatnya (bdk. Doa Malaikat Tuhan, 9
November 1969).
Adegan
yang disajikan kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 19:1-10) terutama
mencerahkan dalam hal ini: Zakheus, orang yang kaya dan berkuasa, tergerak
untuk bertemu Yesus. Namun, ia menyadari bahwa ia terlalu pendek untuk bertemu
Yesus sehingga memutuskan untuk memanjat pohon. Ini adalah tindakan yang tidak
biasa dan tidak pantas bagi seseorang dengan kedudukannya yang terbiasa
mendapatkan apa pun yang diinginkannya di kantor cukai seolah-olah itu adalah haknya.
Namun kali ini, jalannya lebih panjang dan memanjat dahan pohon berarti Zakheus
menyadari keterbatasannya dan mengatasi hambatan kesombongannya. Dengan
demikian, ia dapat bertemu Yesus, yang berkata kepadanya, "Hari ini Aku
harus menumpang di rumahmu" (ayat 5). Perjumpaan itu menandai awal
kehidupan baru bagi Zakheus (bdk. ayat 8).
Ketika
Yesus memanggil kita untuk ambil bagian dalam rancangan besar Allah, Ia
mengubah kita dengan membentuk kita secara terampil sesuai dengan rencana
keselamatan-Nya. Dalam beberapa tahun terakhir, gambaran "lokasi
pembangunan" sering digunakan untuk menggambarkan perjalanan gerejawi
kita. Gambaran indah ini berbicara tentang aktivitas, kreativitas, dan
dedikasi, serta kerja keras dan terkadang masalah rumit yang harus dipecahkan.
Gambaran ini menangkap upaya nyata dan kasat mata dari komunitas kita yang
bertumbuh setiap hari, membagikan karisma mereka di bawah bimbingan para
gembala mereka. Gereja Roma, khususnya, menjadi saksi akan hal ini dalam tahap
pelaksanaan Sinode saat ini. Apa yang telah matang selama bertahun-tahun kerja
kini perlu diuji dan dievaluasi "di lapangan." Ini menyiratkan
perjalanan yang berat, tetapi kita tidak boleh berkecil hati. Sebaliknya, kita
harus terus melanjutkan dengan keyakinan dalam upaya kita untuk bertumbuh
bersama.
Pembangunan
gedung megah tempat kita berada ini telah mengalami banyak momen kritis,
penundaan, dan perubahan terhadap rencana awal. Namun, berkat kegigihan para
pendahulu kita, kini kita dapat berkumpul di tempat yang luar biasa ini. Di
Roma, kebaikan yang luar biasa sedang bertumbuh berkat upaya banyak orang.
Janganlah kita biarkan kelelahan menghalangi kita untuk mengakui dan merayakan
kebaikan ini, agar kita dapat memelihara dan memperbarui antusiasme kita.
Bagaimanapun, melalui amal kasih dalam tindakan wajah Gereja kita dibentuk,
membuatnya semakin jelas bagi semua orang bahwa ia adalah seorang
"ibu", "ibu dari semua Gereja", atau bahkan seorang
"ibu", sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II ketika berbicara
kepada anak-anak pada pesta ini (bdk. Wejangan pada Pesta Pemberkatan Basilika
Santo Yohanes Lateran, 9 November 1986).
Akhirnya,
saya ingin menyebutkan aspek hakiki misi Katedral: liturgi. Liturgi adalah
"puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala
daya-kekuatannya" (Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium,
10). Di dalamnya, kita menemukan tema-tema yang sama yang telah kita sebutkan:
kita dibangun sebagai kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam
Roh, sampai kita mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus
(bdk. idem, 2). Oleh karena itu, pemeliharaan liturgi, khususnya di sini di
Takhta Petrus, haruslah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi teladan bagi
seluruh umat Allah. Liturgi harus selaras dengan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan, memperhatikan perbedaan kepekaan para peserta, dan berpegang teguh
pada prinsip inkulturasi yang bijaksana (bdk. idem, 37-38). Pada saat yang
sama, ia harus tetap setia pada kesederhanaan khidmat yang khas tradisi Romawi,
yang dapat mendatangkan begitu banyak kebaikan bagi jiwa-jiwa mereka yang
berpartisipasi aktif di dalamnya (bdk. idem, 14). Hendaknya diperhatikan dengan
sungguh-sungguh agar keindahan ritus-ritus yang sederhana mengungkapkan nilai
ibadat bagi pertumbuhan yang harmonis seluruh tubuh Tuhan. Sebagaimana
dikatakan Santo Agustinus, "keindahan tak lain adalah kasih, dan kasih
adalah hidup" (Kuliah 365, 1). Kebenaran ini diwujudkan secara istimewa
dalam liturgi, dan saya berharap orang-orang yang mendekati altar Katedral Roma
pulang dengan dipenuhi rahmat untuk melimpahi dunia sesuai kehendak Tuhan (bdk.
Yeh. 47:1-2, 8-9, 12).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 9 November 2025)


Print this page
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.